Widget HTML Atas

pebisnismuslim.com

Transportasi Jadi Kontributor Terbesar Ongkos Logistik Beras dan Kedelai



728x90.id


JAKARTA,  - Biaya transportasi dan persediaan dinilai berkontribusi besar terhadap biaya logistik beras serta kedelai di Indonesia. Biaya logistik yang tinggi itu kemudian diteruskan ke konsumen dengan harga yang lebih tinggi. Sementara program Tol Laut dianggap belum signifikan menekan disparitas harga.

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dalam kajiannya bertajuk Logistics Costs of Rice and Soybean: Issues, Challenges, and the Impact of Regulations yang dipublikasikan pada Mei 2023 menyebut, biaya logistik menyumbang 21 persen hingga 23 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Porsi itu lebih tinggi dari negara berkembang lainnya. Dalam biaya logistik, ongkos transportasi dan persediaan berkontribusi lebih besar ketimbang biaya administrasi di pelabuhan yang berkontribusi kurang dari 6 persen.

Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menegaskan, biaya logistik di Indonesia cenderung masih mahal karena terdapat permasalahan fundamental. Permasalahan tersebut antara lain, pemerataan infrastruktur, ketersediaan armada pengangkut, adanya pungutan liar (pungli), dan waktu tunggu pelabuhan.

"Selama masalah fundamental di sektor logistik tidak diselesaikan, marjin harga yang tinggi bukan menjadi keuntungan dari sisi produsen pangan," kata Bhima saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (2/6/2023).

Bhima mencontohkan, produsen beras menjual beras dengan harga Rp 8.000 per kilogram (kg). Namun, harga beras di tingkat konsumen mencapai Rp11.000 per kg atau dengan kata lain terdapat marjin sebesar Rp 3.000 per kg lantaran tingginya biaya logistik dan keuntungan rantai distribusi hingga ke level konsumen.

Dengan demikian, petani yang menanggung biaya produksi sekaligus menanggung risiko tanam justru memiliki marjin yang tidak setinggi distributor. Hal ini menyebabkan harga beras tinggi tetapi nilai tukar petani (NTP) turun.

Dalam kajian lainnya bertajuk Laporan Analisis Marjin Transportasi dan Perdagangan (MPP) Komoditas Pangan Pokok pada tahun 2021, CIPS melaporkan, biaya transportasi menjadi penyumbang terbesar biaya logistik beras, yakni sebesar 84,62 persen dari total biaya logistik di tingkat produsen. Lalu, biaya logistik beras juga menyumbang 90,77 persen dari total biaya logistik di tingkat distributor atau pengecer.

Di sisi lain, proporsi MPP importir atas biaya logistik kedelai impor jauh lebih tinggi ketimbang pengecer. MPP importir berkontribusi terhadap biaya logistik sebesar 88,96 persen, sementara MPP pengecer hanya sebesar 78,54 persen.

Dari jumlah tersebut, 59,06 persen biaya logistik untuk importir adalah biaya administrasi. Lalu, biaya transportasi berkontribusi sebesar 78,14 persen di tingkat pengecer. Lebih lanjut, biaya logistik pada distributor relatif lebih besar ketimbang biaya logistik di tingkat pengecer kedelai.

Disparitas harga

Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan besar dan kurangnya pemerataan pembangunan mengakibatkan kesenjangan harga komoditas, khususnya wilayah Indonesia bagian Timur. Melansir Sistem Pengawasan Pasar Barang Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan, terdapat disparitas harga beras medium antara wilayah Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Papua Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Gorontalo, dan Papua.

Harga rata-rata beras medium di wilayah-wilayah tersebut, yakni Rp 12.705 per kg atau sekitar 13 persen lebih tinggi dari harga rata-rata beras medium nasional sebesar Rp 11.200 per kg. Sementara wilayah Jawa yang menjadi pusat produksi gabah kering produksi memiliki harga rata-rata Rp 10.998 per kg.

Selain beras, disparitas harga bahan pokok juga terjadi pada kedelai impor, meliputi wilayah Sulawesi Tenggara, Papua, Papua Barat, Kalimantan Selatan, Pulau Bangka Belitung, Aceh, dan Kalimantan Tengah. Harga rata-rata kedelai impor di wilayah tersebut Rp 16.802 per kg atau sekitar 11 persen lebih tinggi dari harga nasional sebesar Rp 15.100 per kg. Sementara harga rata-rata di Jawa justru lebih rendah, yakni Rp 14.950 per kg.

"Akselerasi Tol Laut dengan menambah jumlah armada dan rute bisa menjadi salah satu alternatif solusi disparitas harga. Kemudian, volume kargo pengiriman dengan truk besar ditambah pelebaran ruas jalan arteri harapannya menurunkan biaya pengiriman darat," lanjut Bhima.

Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Hendri Ginting memaparkan, program Tol Laut yang digagas sejak 2015 bertujuan untuk mengurangi disparitas harga di daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar, serta pedalaman (3TP). Ini karena kapal-kapal komersial tidak ada yang singggah di wilayah tersebut karena dinilai tidak menguntungkan.

"Saat ini, total ada 39 trayek atau bertambah dari tahun 2022 yang hanya 33 trayek. Dengan demikian, diharapkan dapat mengurangi disparitas harga, menjamin kelangkaan bahan pokok penting, serta mengendalikan inflasi di suatu tempat," katanya dalam diskusi daring bertajuk Jalan Panjang Beras dan Kedelai di Indonesia: Biaya dan Peran Regulasi dalam Logistik Pangan yang diadakan oleh CIPS, Rabu (31/5/2023).

Menurut Hendri, dengan adanya Tol Laut, disparitas harga beras dapat ditekan sedikitnya 35 persen dan kedelai sebesar 40 persen. Namun, upaya tersebut masih belum cukup dan perlu ditingkatkan agar disparitas harga benar-benar dapat diminimalkan.

Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dalam laporan Perkembangan dan Catatan Kritis Pelaksanaan Penyediaan Layanan Tol Laut Bersubsidi tahun 2021, mencatat, terdapat penurunan harga di area yang terkoneksi dengan Tol Laut sebesar 4 persen hingga 20 persen. Namun, penurunan harga tidak dialami oleh beberapa wilayah di Papua seperti Biak Numfor, Asmat, dan Fakfak.

Pemerataan

Ekonom Samudera Indonesia Adithya Prabowo memaparkan, hilirisasi (end to end) menjadi tantangan dalam proses logistik. Salah satu faktor penentu pemerataan distribusi logistik pangan adalah infrastruktur pelabuhan dan jumlah armada.

"Ada ketimpangan antara jumlah armada kapal dan truk di wilayah timur dan wilayah barat. Sementara sentra produksi masih berada di Pulau Jawa. Dengan pemerataan industri, ini bisa mendorong adanya armada di wilayah timur sekaligus berdampak pada infrastruktur," ujarnya.

Badan Pusat Statistik pada tahun 2021 menyebut, sebesar 52,45 persen produksi beras berada di wilayah Jawa. Hal ini menunjukkan, proses logistik akan membutuhkan upaya yang lebih besar dalam pendistribusian ke wilayah-wilayah lain.

Sebaliknya, produksi kedelai yang tidak tersentralisasi dan tidak memenuhi kebutuhan domestik menjadi persoalan lain. Data Kementerian Pertanian pada tahun 2019 menunjukkan, total produksi kedelai domestik mencapai 424.000 ton, sedangkan kebutuhan domestik mencapai 3,06 juta ton.

"Maka dari itu, dibutuhkan efisiensi impor. Tapi, jika impor diterima di wilayah-wilayah Jawa, permasalahannya sama dengan beras, yakni soal distribusi ke seluruh wilayah. Semakin jauh jarak, biaya akan semakin besar," lanjut Adithya.

 Sumber: Kompas


Social Proof 14in1

Tidak ada komentar untuk "Transportasi Jadi Kontributor Terbesar Ongkos Logistik Beras dan Kedelai"